Di awal surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia:
1. Kaum mukminin
2. Orang-orang kafir
3. Orang-orang munafik
Allah
Subhanahu wa Ta’ala membeberkan kepada kaum mukminin di dalam ayat-ayat
tersebut tentang kebusukan hati orang-orang munafik dan permusuhan
mereka kepada kaum mukminin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan
bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan namun mengklaim
sebagai orang yang melakukan perbaikan:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ. أَلَا
إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Apabila
dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka
bumi.” Maka mereka berkata, “Kami hanyalah orang-orang yang melakukan
perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat yang melakukan kerusakan
namun mereka tidak mengetahuinya. (Al-Baqarah: 11-12)
Mereka adalah orang-orang dungu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ ءَامِنُوا كَمَا ءَامَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا
ءَامَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لَا
يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu
sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Akan
berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?”
Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi
mereka tidak tahu. (Al-Baqarah: 13)
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperolok mereka:
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 15)
Di
antara bentuk balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika di
hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَوْمَ
تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ. يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ
ءَامَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا
وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ
بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ.
يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ
فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ
الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
(Yaitu)
pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan,
sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka,
(dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu,
(yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal
di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” Pada hari ketika
orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang
yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari
cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan
carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka
dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di
sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil
mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu
bersama-sama dengan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kalian
mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu
ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah
ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang
amat penipu.” (Al-Hadid: 12-14)
Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang munafikin dengan ancaman yang
keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَعْلَمُوا
أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ
خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ
“Tidakkah mereka
(orang-orang munafik) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah
dan Rasul-Nya maka bagi dia neraka jahanam. Dia kekal di dalamnya dan
itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63)
Di dalam ayat yang lain:
وَعَدَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
“Allah
mengancam orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan serta
orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya.”
(At-Taubah: 68)
Kelak mereka akan ada di kerak neraka yang terbawah:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah
dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong
pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Banyak lagi nash dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang menunjukkan keburukan orang-orang munafik dan ancaman
bagi mereka. Sehingga seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati
dari mereka dan juga menjauhi sifat-sifat mereka.
Pengertian nifaq (kemunafikan)
Kemunafikan
adalah menyembunyikan kebatilan dan menampakkan kebaikan. Kemunafikan
adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dalam
hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10)
Jenis nifaq (kemunafikan)
Ada
dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq asghar
(kemunafikan kecil). Kemunafikan akbar yang disebut juga kemunafikan
i’tiqadi (keyakinan) adalah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan
keislaman. Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kemunafikan
asghar yang disebut pula kemunafikan amali (amalan) adalah menampakkan
lahiriah yang baik dan menyembunyikan kebalikannya. Pokok kemunafikan
asghar kembali kepada lima perkara: Sering berdusta ketika berbicara,
sering tidak menepati janji, jika berselisih melampaui batas, jika
melakukan perjanjian melanggarnya, dan sering khianat jika diberi
amanah.
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, kemunafikan
asghar semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang
sendiri dan ketika terlihat (bersama) orang lain, sebagaimana dikatakan
oleh Hasan Al-Bashri rahimahullahu.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal.
747)
Perbedaan kemunafikan kecil dan kemunafikan besar
Di antara perbedaan antara keduanya adalah:
1. Kemunafikan akbar pelakunya keluar dari Islam, adapun kemunafikan asghar tidak mengeluarkan dari Islam.
2. Kemunafikan akbar tidak mungkin bersatu dengan keimanan, adapun kemunafikan asghar mungkin ada pada seorang yang beriman.
3. Kemunafikan akbar pelakunya kekal di neraka, sedangkan kemunafikan asghar pelakunya tidak kekal di neraka.
(Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Bahaya kemunafikan asghar
Ibnu
Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju
kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran.
Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan
dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang
terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya
keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Orang beriman senantiasa khawatir terjatuh ke dalam kemunafikan
Ibnu
Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mengkhawatirkan
kemunafikan atas dirinya.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya
termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang
takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman
darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya
kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari
kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Jauhi sifat-sifat munafik
Kami
akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kemunafikan amali
inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Padahal
kemunafikan amali sangatlah fatal akibatnya jika terus dilakukan
seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullahu:
“Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana
maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang
terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika
menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas
kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi
munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
“Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ
مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا:
مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ
فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
“Empat perkara, barangsiapa yang ada
pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada
padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu
perangai kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara
berdusta, jika membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih
melampui batas, dan jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:
1. Berdusta ketika bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.”
2. Mengingkari janji
3. Mengkhianati amanah
4. Membatalkan perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:
1. Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
2. Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh
karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha memenuhi
perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى
نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)
Lain halnya dengan
orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang suka
membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ
مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(Yaitu)
orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu
teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya serta membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ
“(Yaitu)
orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah
itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan mereka tidak takut
(akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْهُمْ
مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ
وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ
بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا
فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا
وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dan di antara mereka ada
orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah
memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan
bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka
setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka
kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah
orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah,
karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa
yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu
berdusta. (At-Taubah: 75-77)
Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu
Rajab rahimahullahu menyatakan: “Mengingkari (mengkhianati) perjanjian
adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan yang lainnya
walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa
membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya
surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166)
[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali
rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum
muslimin maka keharusan untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan
membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling besar adalah membatalkan
perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang (kita) telah berbai’at
kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ
لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: ...وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ
إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ...
Tiga
golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di
hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan
azab yang pedih –di antaranya: “Seorang yang membai’at pemimpinnya hanya
karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia mau dia penuhi
perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati perjanjiannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)
Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan
Ibnu
Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan
hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja,
tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang
salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini
lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’
Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang,
mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’
bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi
pada pergerakan politik, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian
mereka. Sebagian mereka menyatakan: ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus
yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan menyatakan: ‘Sesungguhnya politik
adalah kemunafikan.’ Sehingga kebanyakan politikus terkena kemunafikan
amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga menyatakan: “Di
antara tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan
ahlul bid’ah serta membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan
dan meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar