Penistaan Atas Nama Kebebasan
Bangsa Barat kembali menebar bara di dunia
Islam. Pemicunya berawal dari beredarnya film kontroversial yang
berjudul 'Innocence of Muslims'. Dalam film karya Sam Bacile tersebut,
Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam digambarkan sebagai
seorang lelaki hidung belang, penipu dan kerap melakukan pelecehan
seksual terhadap anak anak. Sontak, film ini mengundang kemarahan kaum
muslimin di seluruh dunia dan memicu gelombang protes hingga pembunuhan
terhadap Dubes Amerika Serikat untuk Libya Chris Stevens dan tiga warga
Amerika Serikat lainnya di Benghazi, Libya pada Selasa (11/9).
Pemerintah Amerika Serikat berdalih tidak kuasa untuk menghentikan
pembuatan dan penyebaran film tersebut karena merupakan bagian dari
kebebasan berekspresi yang dijamin oleh undang undang. “Sekarang, saya
perlu tekankan bahwa di dunia saat ini dengan teknologi terkini, hal itu
mustahil. Bahkan kalaupun mungkin, negara kami punya tradisi panjang
kebebasan berekspresi yang dilindungi dalam konstitusi dan hukum kami,
dan kami tidak bisa menghentikan setiap warga negara yang
mengekspresikan pandangan mereka sekalipun itu tidak disukai,” tegas
Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton. (Hillary Clinton keturunan
Yahudi Khazar atau Yahudi Ashkenazi atau Ya'juj wa Ma'juj-AZ)
Sikap diam pemerintah Amerika Serikat
terhadap peredaran film menjijikan ini diperkuat oleh pakar hukum
kebebasan berbicara Professor Eugene Volokh . “Pemerintah Amerika
Serikat tak berdaya dalam artian bahwa konstitusi mengizinkan warga
Amerika berbicara seperti ini tanpa takut dipenjara hanya karena
sebagian orang menganggapnya menghina agama,” katanya. ( www.republika.co.id)
Pastinya, peredaran film karya warga
California, Amerika Serikat keturunan Yahudi Israel ini semakin menambah
panjang kasus penghinaan terhadap Islam yang terjadi di Barat atas nama
kebebasan berekspresi. Masih segar dalam ingatan kita kasus penistaan
terhadap Islam dalam bentuk
pembakaran Al Quran oleh Pastor gila dari Gereja Dove World Outreach
Center, Florida, Amerika Serikat, Terry Jones pada Ahad (29/4)
waktu setempat. Ini aksi brutal merupakan yang kedua kalinya setelah
sebelumnya pada 20 Maret 2011 Terry melakukan pembakaran salinan kitab
suci Al Quran untuk pertama kalinya dan menyebarkan di internet. Dan
lagi lagi pemerintah AS hanya diam seribu bahasa dengan dalih tindakan
nyeleh tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Penulis
berpikir betapa saktinya mantra kebebasan berekspresi sehingga mampu
menjadikan siapapun –khususnya di Barat- untuk bebas berbuat apapun,
dimanapun, dan dengan motif apapun termasuk kebebasan untuk menghina
agama. Semua tindakan tersebut meskipun secara nyata telah menodai
kesucian ajaran agama tertentu, memicu permusuhan dan konflik sosial,
tetap dianggap legal dan patut mendapat perlindungan oleh negara atas
nama kebebasan berekspresi.
Kebebasan Berekspresi : Menikam Islam
Kebebasan setiap warga negara di Amerika
Serikat dan negara negara Eropa ternyata tak sehebat yang dipahami
kebanyakan orang. Dalam realitasnya, paham ini hanya menyasar umat Islam
dan ajaran Islam sebagai objek penindasan atas nama HAM. Di satu sisi,
Amerika Serikat dan negara negara Barat begitu getol menjual ide ide HAM
termasuk kebebasan berekspresi ke negara negara ketiga termasuk
Indonesia. Ironisnya, pada saat bersamaan negara negara barat secara
sadar dan sengaja melakukan pelanggaran HAM berat terhadap warga
negaranya yang beragama Islam. Sebagai contoh, di Perancis para muslimah
dilarang mengenakan jilbab. Sementara di Swiss umat Islam dilarang
membangun menara masjid. Di Bulgaria, pemerintah setempat melarang
paspor dengan foto perempuan yang mengenakan jilbab. Di kawasan
Katalunia, Spanyol, banyak umat Islam yang harus sholat di tempat
terbuka karena pemerintah menolak pengajuan pembangunan masjid dengan
alasan tidak sesuai dengan tradisi dan budaya Katalan. Terhadap itu
semua, Amnesti Internasional dengan jujur mengakui terjadi diskriminasi
terhadap umat Islam di Eropa. Sebagaimana yang diberitakan BBC online
(24/4/2012) negara-negara Eropa melakukan diskriminasi terhadap pemeluk
Islam, khususnya dalam bidang pendidikan dan pekerjaan.
Yang mengherankan, Amerika Serikat dan
negara negara Eropa seolah buta dan tuli terhadap pelanggaran HAM yang
dialami puluhan juta kaum muslim yang tinggal di negara negara barat
tersebut. Coba bandingkan dengan sikap Amerika Serikat begitu getol
melakukan intervensi guna mendukung konser artis liberal Lady Gaga di Jakarta
(meski mendapat penolakan mayoritas rakyat Indonesia. Tak salah kalau
banyak pihak menuding Amerika Serikat dan negara negara Barat bersikap
hipokrit (munafik) terhadap Islam dan kaum muslimin. Dan ciri utama
orang munafik adalah tidak sama antara kata dengan perbuatan. Paham
kebebasan hanya berlaku dan dinikmati oleh masyarakat barat nonmuslim,
namun menjadi tumpul ketika yang menjadi korban adalah seorang muslim.
Seandainya paham kebebasan berkespresi
tanpa batas yang kerap diklaim sebagai bagian dari nilai nilai HAM
universal semacam ini diadopsi Indonesia, apakah mungkin negeri ini akan
semakin damai dan sejahtera. Siapapun yang masih berpikir waras akan
mengatakan tidak. Sederhananya, jangankan Rasulullah Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, seandainya ada pihak lain yang menuduh
orang tua kita sebagai orang gila, saya yakin kita tidak akan pernah
rela dan marah besar terhadap penghinaan tersebut. Berarti hanya orang
sinting saja yang rela melihat orang lain menghina kehormatan keluarga
dan orang tuanya. Dan lebih sinting lagi kalau ada umat Islam yang diam
dan rela melihat pihak lain menghina kehormatan Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam. Sebab, di mata umat, kecintaan terhadap Rasul SAW
melebihi kecintaan kepada orang tua dan sanak keluarga.
Kekerasan : dampak pelecehan
Meski demikian, pemerintah Amerika
Serikat tetap merasa besar kepala dan balik mengecam aksi kekerasan yang
terjadi pada sejumlah kedutaan Amerika Serikat di Timur Tengah. Juru
bicara Gedung Putih, Jay Carney, mengatakan pemerintah Amerika Serikat
mengutuk kekerasan di sejumlah negara Islam yang dipicu oleh film
tersebut. Menurut dia, perusakan fasilitas Amerika Serikat di Mesir,
Libya, dan Yaman tidak dapat dibenarkan dan tidak bisa dibiarkan oleh
pemerintah setempat. Padahal, tak ada asap tanpa ada api. Meski keliru,
kekerasan yang terjadi hanya merupakan dampak dari pembiaran pemerintah
Amerika Serikat terhadap beredarnya film yang menghina Rasulullah.
Bukankah itu sama saja seperti seseorang yang dipukuli bertubi tubi
namun tidak boleh melawan atau membela diri. Ketika berusaha untuk
membela diri, lantas dituding melakukan tindakan kekerasan. Sungguh
sebuah logika yang sangat tidak rasional dan menyesatkan.
Sampai di sini, menjadi jelas bahwa
paham kebebasan berekspresi tanpa batas yang kerap disuarakan barat
hanyalah kedok untuk menikam Islam dan kaum muslimin. Ide ini tidak
netral karena kental dengan nilai nilai kehidupan berbasis ideologi
sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang bertolak belakang
dengan risalah Islam. Tak layak menjadi panduan hidup bagi kaum muslim
dan umat beragama karena hanya akan menjadikan kehidupan semakin rusak
oleh berbagai penistaan dan tindakan desktruktif atas nama kebebasan.
Islam : Agama kebebasan
Islam sebagai risalah rahmatan lil
alamin bukanlah agama yang anti terhadap kebebasan termasuk kebebasan
berekspresi. Sebaliknya, Islam justru memberikan jaminan kebebasan tidak
hanya kepada umat Islam namun juga non muslim tentunya dalam batasan
batasan yang telah ditetapkan hukum syara. Jauh sebelum lahirnya ide
HAM, Islam sudah memberikan jaminan kebebasan sekaligus perlindungan
terhadap hak hak individu dalam bentuk kebebasan beribadah, kebebasan
berusaha dan kebebasan sosial. Ketika daulah khilafah (negara Islam)
masih tegak dan menerapkan hukum Islam, masyarakat muslim maupun
nonmuslim dapat bebas menjalankan ibadah tanpa harus takut mengalami
penistaan, diskriminasi dan intimidasi. Terbukti, hingga kini di Timur
Tengah masih berdiri kokoh gereja gereja dan sinagog yang berumur
ratusan tahun. Selain itu, hubungan antara sesama umat beragama dapat
terjalin harmonis karena mendapatkan jaminan perlindungan yang adil dari
negara. Bahkan, hingga kini non muslim dapat menikmati kebebasan yang
luar biasa di negeri mayoritas muslim seperti Indonesia. Kalau kita mau
jujur, siapa sebenarnya yang anti kebebasan dan bersikap diskriminatif.
Barat ataukah Islam ?
(Dimuat kolom opini Mimbar SKH Borneonews, Senin/17/09/2012)Terkait:
Sumber: Global Muslim Community
Tidak ada komentar:
Posting Komentar