Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum dan adab seputar penyembelihan hewan, baik itu qurban ataupun yang lain.
I. Hewan sembelihan dinyatakan sah dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut:
a. Membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan. Dan ini
merupakan syarat yang tidak bisa gugur baik karena sengaja, lupa,
ataupun jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja atau lupa atau tidak tahu
sehingga tidak membaca basmalah ketika menyembelih, maka dianggap tidak
sah dan hewan tersebut haram dimakan. Ini adalah pendapat yang rajih
dari perbedaan pendapat yang ada. Dasarnya adalah keumuman firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121)
Syarat ini juga berlaku pada penyembelihan hewan qurban. Dasarnya adalah
hadits Anas radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim
(no. 1966), bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan
dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk:
وَيُسَمِّي وَيُكَبِّرُ
“Beliau membaca basmalah dan bertakbir.”
b. Yang menyembelih adalah orang yang berakal. Adapun orang
gila tidak sah sembelihannya walaupun membaca basmalah, sebab tidak ada
niat dan kehendak pada dirinya, dan dia termasuk yang diangkat pena
takdir darinya.
c. Yang menyembelih harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani).
Untuk muslim, permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma`idah: 5)
Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalah sembelihan mereka, sebagaimana penafsiran sebagian salaf.
Pendapat yang rajih menurut mayoritas ulama, sembelihan ahli kitab dipersyaratkan harus sesuai dengan tata cara Islam.
Sebagian ulama menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak boleh
disembelih oleh ahli kitab atau diwakilkan kepada ahli kitab. Sebab
qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka tidak sah kecuali dilakukan oleh seorang muslim. Wallahu
a’lam.
d. Terpancarnya darah
Dan ini akan terwujud dengan dua ketentuan:
1. Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak boleh dari
kuku, tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih dahulu
sebelum menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu
‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ
السِّنَّ وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ
فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang memancarkan darah dan disebut nama Allah padanya
maka makanlah. Tidak boleh dari gigi dan kuku. Adapun gigi, itu adalah
tulang. Adapun kuku adalah pisau (alat menyembelih) orang Habasyah.”
(HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no. 1968)
Juga perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika hendak menyembelih hewan qurban:
يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ
“Wahai ‘Aisyah, ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat itu dengan batu.” (HR. Muslim no. 1967)
2. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi
tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih
menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat
tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan
tersebut.
Faedah
Pada bagian leher hewan ada 4 hal:
1-2. Al-Wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan
3. Al-Hulqum yaitu tempat pernafasan.
4. Al-Mari`, yaitu tempat makanan dan minuman.
Rincian hukumnya terkait dengan penyembelihan adalah:
- Bila terputus semua maka itu lebih afdhal.
- Bila terputus al-wadjan dan al-hulqum maka sah.
- Bila terputus al-wadjan dan al-mari` maka sah.
- Bila terputus al-wadjan saja maka sah.
- Bila terputus al-hulqum dan al-mari`, terjadi perbedaan pendapat. Yang rajih adalah tidak sah.
- Bila terputus al-hulqum saja maka tidak sah.
- Bila terputus al-mari` saja maka tidak sah.
- Bila terputus salah satu dari al-wadjan saja, maka tidak sah. (Syarh Bulugh, 6/52-53)
II. Merebahkan hewan tersebut dan meletakkan kaki pada rusuk
lehernya, agar hewan tersebut tidak meronta hebat dan juga lebih
menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang tata cara
penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Dan beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ
“Lalu beliau rebahkan kambing tersebut kemudian menyembelihnya.”
III. Disunnahkan bertakbir ketika hendak menyembelih qurban,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu di atas, dan
diucapkan setelah basmalah.
IV. Bila dia mengucapkan:
بِسْمِكَ اللَّهُمَّ أَذْبَحُ
“Dengan nama-Mu ya Allah, aku menyembelih”, maka sah, karena sama dengan basmalah.
V. Bila dia menyebut nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala selain Allah, maka hukumnya dirinci.
a. Bila nama tersebut khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak
boleh untuk makhluk, seperti Ar-Rahman, Al-Hayyul Qayyum, Al-Khaliq,
Ar-Razzaq, maka sah.
b. Bila nama tersebut juga bisa dipakai oleh makhluk, seperti Al-‘Aziz, Ar-Rahim, Ar-Ra`uf, maka tidak sah.
VI. Tidak disyariatkan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika menyembelih, sebab tidak ada perintah dan contohnya dari
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya.
(Asy-Syarhul Mumti’, 3/408)
VII. Berwudhu sebelum menyembelih qurban adalah kebid’ahan, sebab
tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
salaf.
Namun bila hal tersebut terjadi, maka sembelihannya sah dan halal dimakan, selama terpenuhi ketentuan-ketentuan di atas.
VIII. Diperbolehkan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar
sembelihannya diterima oleh-Nya. Sebagaimana tindakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, terimalah (sembelihan ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad,
dan umat Muhammad.” (HR. Muslim no. 1967, dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha)
IX. Tidak diperbolehkan melafadzkan niat, sebab tempatnya di dalam hati menurut kesepakatan ulama. Namun dia boleh mengucapkan:
اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ فُلاَنِ
“Ya Allah, sembelihan ini dari Fulan.”
Dan ucapan tersebut tidak termasuk melafadzkan niat.
X. Yang afdhal adalah men-dzabh (menyembelih) sapi dan kambing.
Adapun unta maka yang afdhal adalah dengan nahr, yaitu disembelih dalam
keadaan berdiri dan terikat tangan unta yang sebelah kiri, lalu ditusuk
di bagian wahdah antara pangkal leher dan dada.
Diriwayatkan dari Ziyad bin Jubair, dia berkata: Saya pernah melihat
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mendatangi seseorang yang menambatkan
untanya untuk disembelih dalam keadaan menderum. Beliau radhiyallahu
‘anhuma berkata:
ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً، سُنَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bangkitkan untamu dalam keadaan berdiri dan terikat, (ini) adalah
Sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari no. 1713
dan Muslim no. 1320/358)
Bila terjadi sebaliknya, yakni me-nahr kambing dan sapi serta men-dzabh
unta, maka sah dan halal dimakan menurut pendapat jumhur. Sebab tidak
keluar dari tempat penyembelihannya.
XI. Tidak disyaratkan menghadapkan hewan ke kiblat, sebab haditsnya mengandung kelemahan.
Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu ‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia
majhul. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2795) dan Ibnu Majah
(no. 3121).
XII. Termasuk kebid’ahan adalah melumuri jidat dengan darah hewan
qurban setelah selesai penyembelihan, karena tidak ada contohnya dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salaf. (Fatwa Al-Lajnah,
11/432-433, no. fatwa 6667)
Hukum-hukum Qurban
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya:
1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ dengan dua hal:
a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban)
b. dengan tindakan, dan ini dengan dua cara:
1. Taqlid yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah
(tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada
leher hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing.
2. Isy’ar yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir
pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi saja.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
فَتَلْتُ قَلاَئِدَ بُدْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا
“Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku.
Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan
Muslim no. 1321/362)
Kedua tindakan ini khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup
dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa
adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban.
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila hewan tersebut telah
di-ta’yin sebagai hewan qurban:
2) Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang menuntun unta
(qurban/hadyu) maka beliau bersabda:
ارْكَبْهَا
“Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)
Juga datang dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (Al-Bukhari no. 1690
dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma (HR.
Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagai
berikut:
ارْكَبْهَا بِالْمَعْرُوْفِ إِذَا أُلْجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا
“Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”
3) Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya, seperti:
a. mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi
sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.
c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar
Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36)
4) Tidak diperbolehkan menjual hewan tersebut atau menghibahkannya
kecuali bila ingin menggantinya dengan hewan yang lebih baik. Begitu
pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada
waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.
5) Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan.
6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari hewan tersebut apapun
bentuknya kepada tukang sembelih. Namun bila diberi dalam bentuk uang
atau sebagian dari hewan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan
sebagai upah, maka diperbolehkan.
Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ
عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجِلاَلَهَا
عَلَى الْمَسَاكِيْنِ وَلاَ أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا
“Nabi memerintahkan aku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya,
membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya kepada orang-orang miskin
dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai (upah)
penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)
7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka dirinci:
- Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
- Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah.
- Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik
- Bila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada
kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah.
8) Bila hewan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau
dicuri, maka tidak ada kewajiban apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila
hal itu terjadi karena kesalahannya maka dia harus menggantinya.
9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal
sang pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi
dia hewan ganti tersebut sebagi qurban. Sedangkan hewan yang ketemu
tersebut tidak boleh dijual namun disembelih, sebab hewan tersebut telah
di-ta’yin.
10) Bila hewan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia
menyembelih ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya. Namun bila hewan
tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan
janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.”
Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul
Ghalil (8/172, no. 2539)
11) Adapun bila hewan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan
baginya untuk menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau
menyembelihnya untuk diambil daging dan lainnya, layaknya hewan biasa.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Hukum-hukum dan Adab-adab Yang Terkait dengan Orang yang Berqurban
1. Syariat berqurban adalah umum, mencakup lelaki, wanita, yang telah
berkeluarga, lajang dari kalangan kaum muslimin, karena dalil-dalil yang
ada adalah umum.
2. Diperbolehkan berqurban dari harta anak yatim bila secara kebiasaan
mereka menghendakinya. Artinya, bila tidak disembelihkan qurban, mereka
akan bersedih tidak bisa makan daging qurban sebagaimana anak-anak
sebayanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/427)
3. Diperbolehkan bagi seseorang berhutang untuk berqurban bila dia mampu
untuk membayarnya. Sebab berqurban adalah sunnah dan upaya menghidupkan
syi’ar Islam. (Syarh Bulugh, 6/84, bagian catatan kaki)
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga mempunyai fatwa tentang diperbolehkannya
menyembelih qurban walaupun belum dibayar harganya. (Fatawa Al-Lajnah,
11/411 no. fatwa 11698)
4. Dipersyaratkan hewan tersebut adalah miliknya dengan cara membeli
atau yang lainnya. Adapun bila hewan tersebut hasil curian atau ghashab
lalu dia sembelih sebagai qurbannya, maka tidak sah.
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu Dzat yang baik tidak menerima kecuali yang
baik.” (HR. Muslim no. 1015 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Begitu pula bila dia menyembelih hewan orang lain untuk dirinya, seperti hewan gadaian, maka tidak sah.
5. Bila dia mati setelah men-ta’yin hewan qurbannya, maka hewan tersebut
tidak boleh dijual untuk menutupi hutangnya. Namun hewan tersebut tetap
disembelih oleh ahli warisnya.
6. Disunnahkan baginya untuk menyembelih qurban dengan tangannya sendiri
dan diperbolehkan bagi dia untuk mewakilkannya. Keduanya pernah
dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits:
ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
“Rasulullah menyembelih kedua (kambing tersebut) dengan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat, di
mana beliau diperintah oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menangani unta-untanya.
7. Disyariatkan bagi orang yang berqurban bila telah masuk bulan
Dzulhijjah untuk tidak mengambil rambut dan kukunya hingga hewan
qurbannya disembelih.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ
يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Apabila telah masuk 10 hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang
kalian hendak berqurban, maka janganlah dia mengambil rambut dan kukunya
sedikitpun hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR. Muslim no. 1977)
Dalam lafadz lain:
وَلاَ بَشَرَتِهِ
“Tidak pula kulitnya.”
Larangan dalam hadits ini ditujukan kepada pihak yang berqurban, bukan
pada hewannya. Sebab mengambil bulu hewan tersebut untuk kemanfaatannya
diperbolehkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Juga, dhamir (kata ganti) هِ pada hadits di atas kembali kepada orang
yang hendak berqurban.
Larangan dalam hadits ini ditujukan khusus untuk
orang yang berqurban. Adapun keluarganya atau pihak yang disertakan,
tidak mengapa mengambil kulit, rambut dan kukunya. Sebab, yang disebut
dalam hadits ini adalah yang berqurban saja.
- Bila dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya sebelum hewannya
disembelih, maka qurbannya sah, namun berdosa bila dia lakukan dengan
sengaja. Tetapi bila dia lupa atau tidak sengaja maka tidak mengapa.
- Bila dia baru mampu berqurban di pertengahan 10 hari pertama
Dzulhijjah, maka keharaman ini berlaku saat dia niat dan ta’yin
qurbannya.
- Orang yang mewakili penyembelihan hewan qurban orang lain, tidak terkena larangan di atas.
- Larangan di atas dikecualikan bila terjadi sesuatu yang mengharuskan dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
8. Disyariatkan untuk memakan sebagian dari hewan qurban tersebut. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَكُلُوا مِنْهَا
“Maka makanlah sebagian darinya.” (Al-Hajj: 28)
Juga tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memakan sebagian dari hewan qurbannya.
9. Diperbolehkan menyimpan daging qurban tersebut walau lebih dari tiga hari. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُحُوْمِ اْلأَضَاحِي فَوْقَ ثَلاَثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ
“Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari.
(Sekarang) tahanlah (simpanlah) semau kalian.” (HR. Muslim no. 1977 dari
Buraidah radhiyallahu ‘anhu)
10. Disyariatkan untuk menyedekahkan sebagian dari hewan tersebut kepada fakir miskin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ
“Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28)
Juga firman-Nya:
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“Beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)
Yang dimaksud dengan الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ adalah orang faqir yang
menjaga kehormatan dirinya tidak mengemis padahal dia sangat butuh.
Demikian penjelasan Ikrimah dan Mujahid.
Adapun yang dimaksud dengan الْقَانِعَ adalah orang yang meminta-minta
daging qurban. Sedangkan الْمُعْتَرَّ adalah orang yang tidak
meminta-minta daging, namun dia mengharapkannya. Demikian penjelasan
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu.
11. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kaya
sebagai hadiah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di kalangan muslimin.
12. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kafir
sebagai hadiah dan upaya melembutkan hati. Sebab qurban adalah seperti
shadaqah sunnah yang dapat diberikan kepada orang kafir. Adapun shadaqah
wajib seperti zakat, maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir.
Dan yang dimaksud dengan kafir disini adalah selain kafir harbi.
Al-Lajnah Ad-Da`imah mengeluarkan fatwa tentang hal ini (11/424-425, no.
1997).
13. Diperbolehkan membagikan daging qurban dalam keadaan mentah ataupun
masak. Diperbolehkan pula mematahkan tulang hewan tersebut.
Demikian beberapa hukum dan adab terkait dengan qurban yang dapat
dipaparkan pada lembar majalah ini, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam
bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar