Ketika Perjalanan Terhenti ...
Suatu hari, dari keseluruhan hari-hari Rasulullah yang peruh berkah. Jibril datang menemui Rasul mulia itu. Ia datang memberi nasehat yang sangat berharga. Sebuah nasehat, yang sesungguhnya, juga untuk kita, ummat Rasulullah SAW."Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu, sesungguhnya engkau pasti akan mati. baerbuatlah sesukamu, sesungguhnya engkau dibalas menurut perbuatanmu itu. Cintailah siapa saja yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau pasti berpisah dengannya. Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin itu karena shalat malamnya, dan kebesarannya ialah tidak butuhnya (zuhud) kepada sesama manusia.
Alangkah indahnya nasehat itu. Tidaak saja pada kata-katanya, tapi juga pada maknanya yang dalam. Disampaikan dalam urutan kategori yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain, ia seperti suara yang menghentak-hentak, menyadarkan siapa saja yang lalai.
Kedalaman nasehat itu juga terletak pada bentuknya yang harus dipahami secara terbalik." Hiduplah sesukamu, sesunggunya engkau pasti mati",artinya, justru yang harus kita lakukan adalah tidak berbuat sesuka kita, karena kita akan mati. "berbuatlahsesukamu sesungguhnya engkau dibalas menurut perbuatanmu itu", justru ita jangan berbuat sesuka hati, karena kita akan dibalas kelak. Begitulah seterusnya.
Selain itu, kekuatan nasehat itu juga terletak pada ruang penuh tanya dari masing-masing kategori nasehat itu. Kita akan mati, maka bagaimanakah nasib kita kelak? Kita akan dibalas sesuai amal kita, maka bagaimanakah pembalasan untuk kita kelak? Kita akan berpisah dengan orang yang kita cintai, maka sejauh manakah kebenaran cinta kita.
Lebih dari itu, nasehat di atas secara mudah dan sederhana menegaskan, bahwa sepereti apapun hidup orang, sesungguhnya suatu saat ia akan mati. Orang yang sehat akan mati. Orang yang sakit akan mati. Orang yang kaya akan mati. Orang yang miskin akan mati. Orang pandai akan mati. Orang bodoh pun akan mati. Rakyat biasa akan mati. Pejabat, penguasa, politikus, tentara, koruptor, penyuap, dan siapapun uga orangnya, kelak akan mati.
Dalam beribu tahun umur dunia yang telah lewat, telah ratusan juta orang yang meninggal. Mereka pergi mendahului kita, untuk selama-lamanya. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib mereka. Tak satupun yang mengerti bagaimana kesudahan mereka. Di antara mereka dulu ada orang-orang yang gagah perkasa. Ada pula orang biasa yang shalih dan selalu mencari ridho Tuhannya. Ada juga yang dituangkan kepadanya segala kesenangan dunia, tapi tak satupun dari kesenangan itu yang bisa menemaninya pergi menghadap Allah SWT.
Hidup adalah perjalanan. Stasiun pertamanya adalah kelahiran. Stasiun berikutnya adalah kematian. Sesudah itu adalah perhitungan amal. Allah SWT menegaskan," Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain hanya kesenangan yang memperdayakan."(QS. Al-Imran: 185).
Aksioma-aksioma dalam nasehat Jibril dan juga pada ayat itu, secara tidak langsung bermiripan dengan apa yang dijelaskan Rasulullah kepada para sahabatnya. Ketika pada suatu hari, Rasulullah saw mengambar diatas tanah. Sebuah garis panjang.Lalu menggambar kotak. Satu ujung gari panjang itu berada di dalam kotak. Tetapi ujung yang lain keluar menembus sisi lain kotak itu. Di salah satu sisi garis panjang yang menembus kotak itu Rasulullah menggambar garis-garis lain yang kecil-kecil.
"Garis panjang ini adalah keinginan manusia. Sedang kotak ini adalah ajalnya. Adapun garis-garis kecil ini adalah rintangan yang akan dihadapi manusia dalam hidupnya,"begitulah Rasulullah menjelaskan kepada para sahabatnya.
Ini hanyalah salah satu cara Rasulullah mendidik sahabatnya. Dengan sebuah analogi yang sangat indah, mudah dimengerti, dan penggambaran yang penuh dengan pelajaran. Sesuatu yang sangat vital bernama kematian yang sangat memupus harapan, atau ajal yang memenggal keinginan, dijelaskan dengan begitu ringan. Sama seperti ketika ia mengatakan," Perbanyaklah mengingat pemupus kenikmatan (yaitu kematian)."
Maka, seperti garis panjang yang digambarkan itu, keinginan manusia bisa sangat tidak terbatas. Begitulah yang senyatanya yang kita rasakan. Terlebih hari-hari ini. Harapan, kemauan, bahkan angan-angan manusia adalah lorong yang sangat panjang, yang nyaris tanpa batas. Sebab orang bisa mengharapkan apa saja, memimpikan apa saja. Kepada orang-orang itu layak dikatakan," Hiduplah sesukamu, sesungguhnya engkau akan mati."
Bila gambar tersebut dicermati lebih jauh, kita akan mendapati bahwa ruang di luar kota itu jauh lebih besar dari pada kotak itu sendiri. Artinya, hidup sesudah kematian itu justru jauh lebih luas, lebih lama, lebih abadi dari hidup di dunia, yang terkungkung oleh usia, terbatas oleh jatah umur.
Begitupun, kotak yang memotong keinginan itu, sebut saja kotak ajal, kita tidak pernah tahu, seberapa besarnya. Kita tidak mengerti seberapa luasnya. Selebar dan seluas itulah umur kita. Tetapi kita tidak mengerti kapan pertemuan antara awal kematian dengan akhir keinginan hidup kita. Itulaah titik perpisahan. Saat segala harapan terhenti. Saat dunia harus kita tinggalkan.
Hidup ini sebuah perjalanan. Tempat setiap orang menggantungkan harapan. Kesenangan dan keinginan hidup itu adalah fitrah. Tetapi pada praktiknya, banyak dari keinginan itu yang telah melampaui batas kebolehannya. Melebihi batas kewajarannya. Dan yang lebih mengerikan lagi, banyak yang melanggar batas kehalalannya.
Maka, secara sederhana bisa dijelaskan, bahwa kesuksesan di dunia ini, justru harus dibagun dengan pengharapan kepada kebahagiaan akhirat secara tulus, kuat dan berkesinambungan. Persis seperti 'berawal dari akhir'. Artinya awalilah segala hidup di dunia ini dari dimensi akhir, yaitu akhirat. Diawali dalam niat, dalam langkah dan gerak hidup, juga dalam deti-detik penutupannya.
Dengan prinsip seperti itu, sesungguhnya seorang mukmin akan tampil dalam puncak keshalihannya: shalih akhirat dan shalih dunia. Kerinduannya akan akhirat begitu kuat. Tetapi itu tidak saja ia tuangkan pada kekhusyu'an ibadah-ibadah firmal semata, tapi juga ia wujudkan pada keseluruhan karyanya di dunia dengan kerja keras, profesional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar