Setiba di tempat itu, Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar bersama putranya, Ismail, dengan menunggang untanya berjalan pulang ke Syam.
Sambil menggendong putranya, Hajar berjalan tergopoh-gopoh mengikuti suaminya dari belakang unta seraya berkata,”Kepada siapa engkau meninggalkanku bersama anakku ini?”
Ibrahim menjawab singkat,”Kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Jawaban itu bukan sama sekali karena ia ingin berlepas diri dari tanggung jawab seorang kepala keluarga, melainkan karena ia sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi kelak, atas kehendak Allah Swt.
Sejak saat itu Ismail tinggal di kota Mekah, hingga menurunkan banyak keturunan. Diantara keturunannya, terdapat kaum yang dikenal sebagai”Adnaniyyun” atau keturunan Adnan. Karena berbagai kelebihan yang mereka miliki, kaum ini memiliki posisi istimewa di tengah-tengah penduduk Mekah kala itu.
Siapa Menanam Keburukan…
Putra-putra Adnan tetunya menjadi generasi pertama kaum “Adnaniyyun”. Diantara mereka ada yang bernama Ma’ad. Isyarat akan keberadaan nur agung pada dirinya terlihat dari namanya, Ma’ad, yang berasal dari a’addahu, maksudnya ia dijadikan sebagai persiapan untuk suatu masa.
Ma’ad dikenal sebagai salah seorang yang memerangi Bani Israil. Disebutkan bila ia berperang, tidaklah ia pulang kecuali dengan kemenangan, dan itu disebabkan keberkahan nur Muhammad yang ada di dahinya.
Saat mengutus Bukhtanashashar kepada bangsa Arab, Allah perintahkan Nabi Armiya AS untuk membawa Ma’ad di atas kendaraannya, agar Ma’ad tidak terkena kesengsaraan dan kebinasaan. Dikatakan kepadanya,”Sungguh akan Ku-keluarkan dari sulbinya, seorang nabi mulia yang Ku-jadikan penutup para Nabi.”
Nabi Armiya pun mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya itu.
Saat istri Ma’ad tengah bersalin, Ma’ad melihat nur Muhammad berkilauan diantara kedua mata si bayi. Betapa bergembiranya ia. Kemudian ia menyalakan dupa dan memberikan makanan. Ia mengatakan,”Sesungguhnya semua ini adalah nuzr (sedikit) untuk hak dari kelahiran ini.”
Si bayi, yang nama sebenarnya adalah Khalid, kemudian dipanggil dengan sebutan Nizar, yang berasal dari kata nazr atau nuzr.
Saat Nizar beranjak dewasa dan mengetahui bahwa di dalam dirinya bersemayam nur Muhammad, ia pun sangat berbahagia, hingga ia menyembelih hewan qurban dalam jumlah yang sangat banyak pada masa itu untuk dibagi-bagikan.
Seperti ayahnya dan kakeknya, kehidupannya dan putra-putra Ma’ad lainnya ada pada zaman Nabi Musa As. Sebagaimana diceritakan Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh At Thabrani dari Abu Umamah Al Bahili. Saat itu, Rasulullah Saw bercerita, tatkala ada perselisihan antara putra Ma’ad bin Adnan yang berjumlah hingga 40 orang dengan Nabi Musa As saat bersama pasukannya, Nabi Musa As hendak menyumpahi mereka. Maka kemudian turunlah wahyu dari Allah Swt,”Jangan kau sumpahi mereka, karena dari mereka itu kelak akan terlahir seorang nabi yang ummi dan pembawa kabar gembira, dan diantara mereka akan keluar umat yang dirahmati, yaitu umat Muhammad Saw…” Saat wafat, ia dimakamkan di suatu daerah bernama Dzat Al-Jaysy, dekat kota Madinah.
Sebelum wafat, ia mewasiatkan penjagaan kemuliaan nur Muhammad kepada salah seorang putranya, Umar. Umar digelari “Mudhar” karena ia menyukai minum al madhir atau susu asam (Yoghurt). Versi lain mengatakan, ia dinamai Mudhar karena yamdharul qulub maknanya “banyak hati cenderung kepadanya”. Kecenderungan itu karena kecakapan dan ketampanannya, sebab, disebutkan tidaklah seseorang melihatnya kecuali hatinya terpikat kepadanya.
Keberadaan nur Muhammad berbekas jelas dalam kepribadian Mudhar, hingga ia dikenal sebagai seseorang yang memiliki firasat dan ucapan penuh hikmah. Diantara ucapannya,”Orang yang menanam suatu keburukan akan menuai penyesalan.”
Sejumlah hadits menyebutkan namanya, seperti yang dikeluarkan oleh Ibn Sa’ad di dalam At Thabaqatt, bahwasannya Rasulullah Saw mengatakan,”Janganlah kalian mencela Mudhar, karena ia telah berserah diri (di jalan Allah).” Sementara dalam sebuah hadits yang dikeluarkan As Suhaili,” Janganlah kalian mencela Mudhar dan Rabiah (saudara laki-laki Mudhar), karena kedua-duanya adalah orang-orang yang beriman.”
Jangan Kalian Memusuhinya
Menjelang usia senja, Mudhar masih saja belum mendapatkan anak, sehingga ia merasa putus asa. Namun, diakhir usianya, Allah menganugerahinya seorang putra, hingga ia memberikan gelar pada anaknya dengan sebutan Ilyas, atau Al-Ya’s, yang semakna dengan kata al qunuth, “putus asa”. Adapun nama sebenarnya adalah Husain atau Habib.
Sebagaimana orang-orang tuanya, postur badannya juga tinggi besar. Dikenal sebagai seorang ahli hikmah (memiliki kebijaksanaan), ia dihormati layaknya kedudukan Luqmanul Hakim ditengah-tengah kaumnya. Ia juga dijuluki Sayyidul ‘Asyirah, atau penghulu dari keluarga besar masyarakat, gelar tersebut tidak diberikan kaumnya saat itu melainkan kepadanya.
Keberadaan nur Muhammad dalam dirinya amat terang, sebagaimana dikabarkan pada hadits mutawatir, bahwa dari sulbinya terdengar suara dzikir dan ucapan talbiyah Rasulullah Saw sebagaimana talbiyah orang yang sedang naik haji.
Diriwayatkan, dialah orang yang pertama kali wafat karena penyakit TBC. Istrinya sangat bersedih atas wafatnya, hingga sang istri bernadzar tidak mau tinggal di kota tempat Ilyas wafat, tidak mau tinggal di rumah atau berteduh di bawah atap. Ia menangisinya sepanjang siang dan malam, sampai air matanya mengalir di tanah, dan kemudian wafat dalam kesedihan.
Mudrikah adalah salah seorang putra yang ditinggalkan oleh Ilyas. Nama sebenarnya ‘Amr. Ia digelari Mudrikah karena adraka kulla fakhrin wa izzin fi aba’ihi, mendapatkan semua kemuliaan datuk-datuknya. Disebutkan pula bahwasannya nurul musthafa Saw zhahiran wa bayyinan fi jabinihi, nur Nabi Muhammad Saw tampak dan jelas di dahinya.
Kemuliaan sifat-sifat Mudrikah, berikut cahaya yang berada di sulbinya, menurun kepada putranya yang bernama Khuzaimah. Salah satu pendapat mengatakan bahwa sebab penamaan “Khuzaimah”, ialah liannahu khuzaima, adalah karena nur datuk-datuknya dan nur Muhammad berkumpul dalam dirinya. Seorang penyair mengatakan,”Adapun Khuzaimah memiliki banyak kemuliaan akhlak yang terdapat padanya dan tidak ada pertentangan tentang hal itu.”
Mengenai seorang putra Khuzaimah, disebutkan bahwasannya annahu fi kinni bayna qawmihi aw li annah kana yukinnu asrarahum, Ia berada dalam penjagaan diantara kaumnya atau karena ia menjaga rahasia kaumnya. Karenanya ia dinamakan “Kinanah”. Kinanah dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dengan kedudukan yang agung. Orang-orang Arab mendatanginya karena ilmu dan keutamaannya. Kalau hendak makan, ia selalu mencari kawan untuk makan bersama, tidak mau makan sendiri.
Isyarat akan kedatangan Nabi Muhammad Saw pernah dilontarkannya yaitu saat ia mengatakan,”Sungguh akan datang seorang nabi yang mulia dari kota Mekah yang dipanggil Ahmad. Ia menyeru kepada Allah, kebaikan, dan akhlak yang mulia. Ikutilah, niscaya akan bertambah kemuliaan kalian. Jangan kalian memusuhinya, karena sesungguhnya ia membawa kebenaran.”
Aku Dilahirkan Dari…
Diantara istri Khuzaimah (ayah Kinanah), ada yang bernama Barrah binti Udd bin Thabikhah. Setelah Khuzaimah wafat, sebagaimana kebiasaan pada zaman jahiliyah, istrinya itu dinikahi oleh putra tertuanya, yaitu Kinanah. Ada yang mengatakan bahwa An Nadhr terlahir dari pasangan Kinanah dan Barrah binti Udd, janda ayah Kinanah sendiri. Pendapat tersebut adalah pendapat yang keliru.
Abu Utsman Al Jahizh mengatakan,”Kinanah menikahi istri ayahnya itu, tapi kemudian istrinya itu wafat tanpa meninggalkan seorang anak laki atau perempuan baginya, maka kemudian ia menikahi keponakan istrinya yang telah wafat itu yang bernama Barrah binti Murr bin Udd bin Tabikhah, maka kemudian lahirlah An Nadhr. Maka kebanyakan orang rancu dengan hal ini dikarenakan kesamaan nama kedua istrinya itu dan nasab keduanya yang dekat membuat susunan namanya pun hampir mirip.”
Ia menambahkan,”Inilah kenyataan yang dipegang oleh para ahli ilmu dan ahli nasab, dan kita berlindung kepada Allah atas (pandangan yang menganggap adanya) cacat pada nasab Rasulullah Saw.’Aku dilahirkan dari orang tuaku senantiasa dari pernikahan seperti halnya pernikahan Islam’.”
Nama sebenarnya adalah Qays, An Nadhr adalah gelarnya, karena keelokan dan ketampanan wajahnya.
Hingga kemudian silsilah suci itu berlanjut kepada salah seorang putra An Nadhr yang bernama Malik. Nama itu diberikan karena suatu saat kelak ia akan menjadi seorang pemimpin. Memang keadaan sebenarnya membuktikan itu. Setelah dewasa, ia menjadi pemimpin bangsa Arab di Zamannya.
Sedikit Yang Ada Di Tanganmu…
Setelah An Nadhr, tersebutlah nama salah seorang putranya yang tersohor, yaitu Fihr. Ia juga dinamakan Quraisy, liannahu yaqrusy, maknanya ‘ia meneliti hajat orang yang memiliki hajat, kemudian ia menutupi hajat orang tersebut’. Sehingga menjadi kebiasaan bagi keturunannya yang memiliki kebiasaan seperti itu, hingga seorang Quraisy dikenali orang baik karena nasabnya maupun karena sifat terpujinya itu.
Berdasarkan pendapat yang paling tepat, Fihr adalah leluhur suku Quraisy. Karena suku itu sendiri mengambil nama suku dari namanya. Yang lainnya mengatakan bahwa leluhur Quraisy adalah An Nadhr bin Kinanah, atau Ilyas bin Mudhar, atau Mudhar bin Nizar.
Kelanjutan penjagaan nur Muhammad dari sulbinya diteruskan kepada sulbi sang putra yang bernama Ghalib. Diantara ucapan Fihr kepada anaknya itu,”Sedikit yang ada di tanganmu itu lebih mencukupimu, daripada banyak tapi mencoreng wajahmu, sekalipun itu menjadi milikmu.” Ia menamakan putranya dengan Ghalib, bi an yashira ghaliban ‘alaa a’da-ihi, karena ia akan menjadi orang yang menang terhadap musuh-musuhnya.
Dari Ghalib, nur nan suci itu berpindah kepada putranya yang bernama Lu’ay. Kata Lu’ay, semakna dengan al anah, perlahan-lahan. Dinamakan ia dengan itu, li annahu kana ‘indahu ta’annin fil umur, karena ia perlahan-lahan pada setiap urusannya.
Segera Datang Pagi Yang Terang…
Lu’ay memiliki putra yang ia namakan Ka’ab, lantaran memandang ketinggian dan kemuliaannya di tengah-tengah kaumnya, karena kullu syai’in ‘ala fahuwa ka’bun setiap sesuatu yang tinggi itu disebut ka’ab. Sebagaimana juga Bait Al Haram disebut Al Ka’bah.
Dialah yang pertama kali menyebutkan nama hari Jumat, hari yang dulunya disebut sebagai hari’Arubah, karena di hari itu kaum Quraisy berkumpul. Saat itu ia mengingatkan mereka akan kebangkitan Nabi Saw, memberi tahu mereka bahwa nabi itu dari keturunannya, dan menyerukan kepada mereka agar mengikutinya. Berdasarkan penuturan Abdurrahman bin Auf, seperti dikemukakan Ibnul Jauzi dalam Al Qafa bi Ahwalil Mushthafa, Disebutkan bahwa Ka’ab bin Lu’ay mengumpulkan kaumnya di suatu tempat. Diantara yang dikatakannya adalah,”…Malam kelam perlahan-lahan mulai hilang dan akan segera datang pagi yang terang, dan terang benderang…Hendaklah kalian menghias rumah suci kalian (Ka’bah) dan muliakanlah selalu. Kalian pun hendaknya tetap berpegang pada kesucian Ka’bah. Kelak akan datang berita besar bahwa dari tempat suci itu akan keluar seorang nabi yang amat mulia….”
Dia mengatakan,”Demi Allah, bila aku ada pada saat itu (saat keberadaan Nabi Muhammad) dalam keadaan penuh kesadaran, aku akan putuskan dengan mantap, dan kuikat seperti halnya kuikat sebuah unta.”
Ia menegaskan kembali hal itu seakan ia telah mengetahui bahwa nanti, disaat kemunculan Nabi, kaum kerabatnya sendiri banyak yang mengingkarinya. “Duhai, seandainya aku dapat menyaksikan dakwahnya (Nabi), ketika kaum kerabatnya sendiri pada awalnya mengharapkan datangnya kebenaran tapi kemudian menjadi hina (karena mereka mengingkarinya).”
Imam Al Mawardi mengatakan,”Inilah yang disebutkan sebagai dari fitrah-fitrah dari ilham, yang ditampakkan akal lalu terbukti akan kebenarannya, dan digambarkan oleh jiwa lalu terwujud.” Itu terjadi sekalipun jarak wafatnya ia dengan hijrahnya Nabi Saw adalah 232 tahun dalam hitungan tahun masehi. Disebutkan, ia termasuk orang yang paling jelas keberadaan nur Muhammad pada dirinya.
Orang Yang Memuliakan Orang Hina…
Ka’ab meneruskan kepemimpinannya pada seorang putranya yang ia namakan “Murrah”. Ia dinamakan itu, liannahu yashiru murran ‘alal a’da’I, karena putranya ini akan berjalan melewati atau melangkahi musuh-musuhnya, maksudnya ia selalu dapat mengalahkan dan menundukkan musuhnya. Begitupun putra Murrah yang dikenal bernama Kilab. Sebabnya adalah limukalabatihil a’daa’a fil harbi, karena ia selalu mengalahkan musuh dalam peperangan. Sedangkan nama sebenarnya adalah Hakim atau ’Urwah atau Al Muhadzdzab.
Ia memiliki dua putra, Qushay dan Zuhrah. Qushay melanjutkan trah silsilah pewarisan bersemayamnya nur Muhammad, hingga kelak sampai pada ayah Nabi Muhammad Saw, Abdullah. Sedangkan Zuhrah , menurunkan kabilah yang cukup disegani di masa itu, Bani Zuhrah. Diantara orang yang terlahir dari keluarga Bani Zuhrah adalah ibunda Nabi Muhammad Saw, Siti Aminah. Karenanya pada diri Kilab inilah bertemunya nasab kedua orang tua Nabi Muhammad Saw.
Mengenai Qushay putra Kilab, Abdul Muthalib, kakek Nabi, pernah memujinya dengan sebuah qasidah,”Datuk kalian Qushay dipanggil Mujammi’ (orang yang mengumpulkan), dengannya Allah mengumpulkan seluruh kabilah dari Fihr (kaum Quraisy).” Ia dijuluki Al Mujammi, karena mengumpulkan seluruh kabilah Quraisy setelah mereka mulai terpecah belah menjadi 12 kabilah. Sebagaimana datuknya dulu, Ka’ab bin Lu’ay, ia juga mengumpulkan mereka untuk mengingatkan akan dibangkitkannya seorang nabi yang mulia di tanah haram.
Sejarah mencatat, Qushay memainkan peranan besar dalam sejarah Mekah saat ia menciptakan berbagai ketentuan penting mengenai peziarahan ke Ka’bah tiap tahun. Dalam syariat Islam, ritus ziarah itu kemudian dikenal sebagai ibadah haji, setelah diadakan berbagai perubahan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Diantara yang pernah diucapkannya,”Orang yang memuliakan orang yang hina, maka ia akan berserikat dengan kehinaanya.”
Para sejarawan mencatat nama Abdu Manaf sebagai putra Qushay yang termulia, termashur, dan terkuat. Nama sebenarnya adalah Al Mughirah, biannahu yughiru ‘alal a’da, karena ia membuat segan musuh-musuhnya. Ia ditaati oleh suku Quraisy. Karena keelokkannya, ia juga dijuluki Qamarul Bathha, bulan yang indah. Diriwayatkan, nur Muhammad memancar jelas dari wajahnya. Ia dikenal juga sebagai pemegang panji bendera Nizar dan tombak Ismail As.
Ia digelari “Abdu Manaf” pada awalnya karena sewaktu kecilnya ibunya menjadikan ia sebagai pelayan berhala bernama Manat, hingga ia dikatakan “Abdu Manat”. Ayahnya melihat tanda-tanda kemuliaan memancar pada dirinya, dan kemudian menggantinya dengan “Abdu Manaf”. Adapun apa yang diperbuat ibunya terhadap dirinya tidak mengurangi kemuliaan dirinya, karena disebutkan bahwa hal itu dikarenakan ia menjaga berhala itu karena mahalnya harga berhala itu, dan tidak terjadi peribadatan atau I’tiqad ketuhanan terhadap berhala itu. Dan saat itu adalah masa fatrah, masa kekosongan, para rasul sebelumnya sudah wafat, sedang rasul berikutnya belum ada.
Mengenai keyakinan yang ada pada dirinya, diantaranya tergambarkan dari beberapa batu di zaman dahulu yang menuliskan perkataannya,”Aku Al Mughirah putra Qushay, kuwasiatkan kaum Quraisy untuk bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahim.”
Dikatakan tentang dirinya,”Sesungguhnya kaum Quraisy itu memiliki keturunan, maka meneteslah inti kemuliannya kepada Abdu Manaf.” Ia wafat di kota Mekah, ada pula yang mengatakannya di kota Ghazzah.
Tidaklah Aku Menikah Kecuali…
Seorang putra Abdu Manaf, Hasyim, telah menampakkan jiwa kepemimpinannya sejak kecil. Bahkan dikatakan, ia telah memimpin kaumnya sejak masih kecil. Ia bernama Amr Al ‘Ula, li’uluwwi martabatihi, karena ketinggian martabatnya. Disebutkan, setiap orang yang melihatnya akan mencium tangannya. Masyarakat Arab saat itu menyodorkan anak-anak perempuan mereka kepadanya, agar ia berkenan menikahinya.
Ia seorang yang sangat mulia dan diagungkan di tengah-tengah kaumnya. Dinamakan “Hasyim” karena ia yahsyimu ats tsarid li adh dhaif, memotong-motong (menghidangkan) roti kering untuk tamu-tamunya. Hingga dikatakan perihal Hasyim itu,”Hidangannya selalu tersedia, tidak terangkat, baik pada saat kesusahan maupun saat kekenyangan.” Sampai saat ini ada ungkapan yang sering dikatakan orang, Al Karam inda Bani Hasyim, Kemuliaan dimiliki oleh Bani Hasyim. Ungkapan itu terutama saat menggambarkan bagaimana keluarga Bani Hasyim hingga saat ini memiliki kemurahan tangan dan kebiasaan dalam memuliakan tamu-tamu mereka.
Ketika nur Muhammad sampai pada sulbi Hasyim, tersebarlah berita di seluruh penjuru dunia bahwa sudah dekat saat datangnya nabi akhir zaman, yang diutus untuk seluruh umat manusia.
Para pendeta Yahudi dan Nasrani di zamannya berlomba-lomba mendapatkan silsilah mata rantai nur tersebut. Untuk tujuan itu, mereka menyodorkan putri-putri mereka untuk dinikahinya. Namun ia mengatakan,”Demi Allah, Dzat yang telah melimpahkan kemuliaan kepadaku melebihi seluruh penghuni alam ini, tidaklah aku akan menikah kecuali dengan wanita tersuci di seluruh alam.”
Putra Hasyim yang bernama Abdul Muthalib dilahirkan di Yatsrib, atau Madinah. Kulitnya sawo matang, ia dibesarkan di Mekah di sisi pamannya, Al Muthalib bin Abdu Manaf. Al Muthalib pamannya ini adalah leluhur Imam Syafi’i. Sebelum Hasyim wafat, ia meminta kepada saudaranya, Al Muthalib, Adrik ‘abdak bi yatsrib, Ambillah hambamu (keponakanmu) di Yatsrib (Madinah).
Maka setelah Hasyim wafat, ia mengambil keponakannya itu dari ibunya di kota Madinah, untuk menyenangkannya. Maka kemudian ia disebut “Abdul Muthalib”.
Saat dilahirkan, fi ra’sihi syaibah, ada uban di kepalanya, kelahirannya seakan, udhifa lil hamd, dipersiapkan untuk dipuji. Itu karena banyak orang yang memujinya. Karenanya, nama sebenarnya Abdul Muthalib adalah Syaibatul Hamd.
Ia adalah tempat mengeluh Bani Quraisy di kala mereka susah. Ia seorang yang cerdas, lisannya fasih, hatinya hadir, dan sangat dicintai kaumnya. Berkat nur Muhammad yang bersemayam dalam dirinya, kaumnya mengenali Abdul Muthalib akan doa-doanya yang selalu dikabulkan Allah Swt.
Sekalipun belum masuk pada masa kenabian cucunya, ia tidak digolongkan sebagai orang kafir. Ia termasuk dalam ahlul fatrah. Dalam perang Hunain, Rasulullah Saw mengatakan dengan penuh kebanggaan,”Aku seorang nabi, tidak berdusta, aku adalah putra Abdul Muthalib.”
H.M.H. Al Hamid Al Husaini (alm), seorang ulama dan sejarawan Islam yang produktif menulis buku, mengatakan,”Tidak mungkin beliau membanggakan Abdul Muthalib jika ia seorang kafir, sebab hal itu tidak diperkenankan.”
Sebagai sesepuh Quraisy, yang merupakan mayoritas penduduk Mekah, ia berseru dan menganjurkan penduduk agar segera meninggalkan Mekah, mengungsi ke daerah pegunungan yang aman. Sementara ia sendiri tidak pergi meninggalkan Mekah dan hendak bertahan dengan cara apapun yang mungkin dapat ditempuh. Setiba bala tentara Abrahah di perbatasan Mekah, Abdul Muthalib berserah diri kepada Tuhan, Penguasa Ka’bah. Seraya berpegang pada daun pintu Baitullah itu, ia menegadahkan tangan,” Ya Tuhan, hanya Engkaulah yang Maha Kuasa dan hanya Engkaulah yang dapat mengalahkan Abrahah beserta bala tentaranya. Engkau sajalah yang akan melindungi Rumah Suci ini dari kejahatan manusia durhaka dan congkak.”
Kemudian terjadilah apa yang dikehendaki Allah Swt. Belum sempat pasukan Abrahah menyerbu Mekah, Allah Swt menghancurkan bala tentara itu dengan menurunkan burung-burung Ababil, yang melontari mereka dengan batu sijjil. Itulah kenyataan sejarah yang disaksikan sendiri oleh penduduk Mekah dari tempat-tempat pengungsian, dan yang lansung diderita oleh bala tentara Abrahah.
Abdul Muthalib wafat pada usia 82 tahun, versi sejarah lainnya mengatakan 110 atau 120 tahun, kala Nabi Muhammad Saw berusia 8 tahun. Ummu Aiman, pengasuh Nabi, menceritakan,”Ketika itu saya melihat ia (Muhammad Saw) duduk di tempat tidur Abdul Muthalib sampai menangis.” Dan ia terus menangis saat turut mengantar jenazah ke pekuburan Hajun, Mekah.
Abdul Muthalib mempunyai banyak putra, diantaranya adalah yang bernama Abdullah. Dan Abdullah ini ayah Nabi Muhammad Saw, sang Nabi akhir zaman yang sejak lama telah dinanti kedatangannya itu…
Napak Tilas Nur Muhammad Saw |
ass wr wbr....
BalasHapuscerita ini sumbernya dari mana ya habib..... ?
biar ana bisa pedomani