Kamis, 02 Agustus 2012

Tata Cara Sholat Tarawih

Syari’at Sholat Tarawih Secara Berjama’ah

Ada beberapa hadits yang menunjukkan akan disyari’atkannya pelaksanaan sholat Tarawih secara berjama’ah. Di antara hadits-hadits itu adalah sebagai berikut :


Dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan beliau tidak berdiri (sholat lail) bersama kami sedikitpun dari bulan itu kecuali setelah tersisa tujuh hari. Kemudian beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu sepertiga malam. Dan ketika malam keenam (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Kemudian saat malam kelima (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau berdiri (mengimami) kami sampai berlalu seperdua malam. Maka berkata : “Wahai Rasulullah, andaikata engkau menjadikan nafilah untuk kami Qiyam malam ini,” maka beliau bersabda : “Sesungguhnya seorang lelaki apabila ia sholat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya Qiyam satu malam”. Dan ketika malam keempat (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau tidak berdiri (mengimami) kami. Dan saat malam ketiga (dari malam yang tersisa,-pent.) beliau mengumpulkan keluarganya, para istrinya dan manusia lalu beliau berdiri (mengimami) kami sampai kami khawatir ketinggalan Al-Falah. Saya –rawi dari Abu Dzar- bertanya : “Apakah Al-Falah itu?” (Abu Dzar menjawab : “Waktu sahur”. Kemudian beliau tidak berdiri lagi (mengimami) kami pada sisa bulan.” (HR. Ahmad)
 

Dan Abu Tholhah Nu’aim bin Ziyad, beliau berkata : Saya mendengar Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma di mimbar Himsh, beliau berkata :
“Kami berdiri (sholat) bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan pada malam 23 sampai sepertiga malam pertama, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 25 sampai seperdua malam, kemudian kami berdiri (sholat) bersama beliau pada malam 27 sampai kami menyangka tidak mendapati Al-Falah yang mereka namakan untuk waktu sahur” (HR. Ibnu Abi )
 


Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam keluar di kegelapan malam lalu beliau sholat di masjid maka sekelompok orang sholat mengikuti sholat beliau. Kemudian manusia di pagi harinya membicarakan tentang hal tersebut maka berkumpullah lebih banyak dari mereka, maka keluarlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada malam kedua lalu merekapun sholat mengikuti sholat beliau. Di waktu paginya manusia membicarakan hal tersebut sehingga menjadi banyaklah yang hadir di masjid pada malam ketiga, lalu beliau keluar dan mereka sholat mengikuti sholat beliau. Begitu malam yang keempat masjid tidak mampu menampung penduduknya. Akan tetapi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak keluar kepada mereka sampai sekelompok orang dari mereka berteriak : “Sholat”
 

namun Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak keluar kepada mereka sampai beliau keluar untuk sholat subuh. Tatkala beliau menyelesaikan (sholat) subuh, beliau menghadap kepada manusia kemudian beliau tasyahhud lalu berkata : “Amma Ba’du, sesungguhnya keadaan kalian malam ini tidak luput dari pemantauanku, akan tetapi aku khawatir akan diwajibkannya atas kalian sholat lail kemudian kalianpun tidak sanggup terhadapnya’.”
(HR. Al-Bukhary dan Muslim dan lafazh hadits bagi Imam Muslim)
 

Dari hadits ini diketahui mengapa sholat Tarawih di bulan Ramadhan tidak dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam terus menerus yaitu karena kekhawatiran beliau sholat tersebut diwajibkan atas umatnya sehingga memberatkan mereka. Namun kekhawatiran ini telah lenyap setelah wafatnya beliau dan agama telah sempurna. Karena itu sunnah ini dihidupkan oleh ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dari ‘Abdurrahman bin ‘Abd Al-Qary, beliau berkata :
“Saya keluar bersama ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menuju ke masjid pada suatu malam di Ramadhan, ternyata manusia terbagi-bagi berpisah-pisah, seseorang sholat sendirian dan seseorang sholat dimana sekelompok orang (mengikuti) sholatnya. Maka 

‘Umar berkata :
“Saya berpandangan andaikata saya kumpulkan mereka pada satu qori` maka itu lebih tepat.”Lalu beliau ber’azam lalu beliau kumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar
bersama beliau pada malam lain dan manusia sedang sholat (mengikuti) sholat qori’ mereka maka ‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini dan yang tidur darinya lebih baik dari yang menegakkannya” yang beliau inginkan adalah orang yang sholat pada akhir malam sementara manusia menegakkannya di awal malam”
 

Ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, beliau maksud bid’ah secara bahasa karena beliau yang pertama kali menghidupkan sunnah ini setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memberikan dasar tuntunannya pada masa hidupnya. Wallahu A’lam.
 

Bertolak dari sini, nampaklah kesalahan sebahagian orang yang sering melakukan pelaksanaan Qiyamul Lail secara berjama’ah di luar Ramadhan. Memang Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang melakukan Qiyamul Lail secara berjama’ah di rumahnya bersama Ibnu ‘Abbas dan juga pernah bersama Ibnu Mas’ud dan pernah bersama Hudzaifah. Namun beliau tidak melakukan hal tersebut terus menerus dan tidak pula beliau melakukannya di masjid, karena itu siapa yang melakukan Qiyamul Lail secara berjama’ah di luar Ramadhan secara terus menerus atau secara berjama’ah di masjid maka tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut tersebut termasuk dari perkara bid’ah yang tercela.

Hukum Sholat Tarawih
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/526: “Dan sholat Tarawih adalah sunnah menurut kesepakatan para ‘ulama.” Lihat juga Syarah Muslim 6/38.
Dan berkata Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 1/209 : “Dan (para ulama) sepakat bahwa Qiyam bulan Ramadhan sangat dianjurkan lebih dari seluruh bulan.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 2/601 : “Ia adalah sunnah muakkadah dan awal kali yang menyunnahkannya adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Dan Al-Mardawy dalam Al-Inshof 2/180 juga memberi pernyataan sama dalam madzhab Hanbaliyah namun beliau menyebutkan bahwa Ibnu ‘Aqil menghikayatkan dari Abu Bakr Al-Hanbaly akan wajibnya.
Tidaklah diragukan bahwa sholat Tarawih adalah sunnah muakkadah berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut di atas


Namun para ulama berselisih pendapat tentang mana yang afdhol dalam pelaksanaan sholat Tarawih, apakah dilakukan secara berjama’ah di masjid atau sendiriaan di rumah?. 

Ada duapendapat di kalangan para ulama :
1. Yang afdhol adalah secara berjama’ah. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iy dan kebanyakan pengikutnya, Ahmad, Abu Hanifah, sebahagian orang Malikiyah dan selainnya. Dan Ibnu Abi Syaibah menukil pelaksanaan secara berjama’ah dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Suwaid bin Ghafalah, Zadzan, Abul Bakhtary dan lain-lainnya. Alasannya karena ini adalah sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang dihidupkan oleh ‘Umar dan para shohabat radhiyallahu ‘anhum dan sudah menjadi symbol agama yang nampak seperti sholat ‘Ied. Bahkan Ath-Thohawy berlebihan sehingga mengatakan bahwa sholat Tarawih
secara berjama’ah adalah wajib kifayah.
 

2. Sendirianlah yang afdhol. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Yusuf, sebagian orang-orang Syafi’iyyah dan selainnya. Alasannya adalah hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang berbunyi : “Sesungguhnya sebaik-baik sholat seseorang adalah dirumahnya kecuali sholat wajib.”
 

Hukum Sholat Witir
Menurut jumhur ulama sholat witir hukumnya adalah sunnah muakkadah. Ini pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya.
Di sisi lain Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat witir hukumnya wajib. Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami.” 

Tarjih
Yang benar dalam masalah ini bahwa sholat witir tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadits Tholhah bin ‘Ubaidullah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyebutkan kewajiban sholat lima waktu maka beliau di tanya, “Apakah ada kewajiban lain atasku” beliau menjawab : “Tidak, kecuali hanya sekedar sholat tathawwu’ (sholat sunnah).”
Dan juga akan diterangkan tentang sholat witirnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di atas hewan tunggangannya padahal dimaklumi bahwa sholat wajib tidaklah dilakukan di atas hewan tunggangan.
Dan masih ada dalil-dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya.


Waktu Sholat Lail dan Sholat Tarawih
Waktu pelaksanaanya adalah :
1. Awal Waktu
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 23/119-220 : “Sunnah dalam sholat Tarawih dilaksanakan setelah sholat ‘Isya sebagaimana yang telah disepakati oleh Salaf dan para Imam … dan tidaklah para Imam melakukan sholat (Tarawih) kecuali setelah ‘Isya di masa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan dimasa para Khulafa` Ar-Rasyidin dan di atas hal ini para Imam kaum muslimin…”
 

Dan berkata Ibnul Mundzir : “Ahlul ‘Ilmi telah sepakat bahwa (waktu) antara sholat ‘Isya sampai terbitnya fajar adalah waktu untuk witir.”
Maka ukuran awal waktu pelaksanaan Qiyam adalah setelah sholat ‘Isya, apakah sholat ‘Isyanya di awal waktu, pertengahan atau akhir waktunya. Demikian pula -menurut keterangan Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin dan selainnya- boleh dilaksanakan oleh seorang yang musafir bila ia telah menjamak taqdim waktu ‘Isya dengan waktu maghrib.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Bashrah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad dan selainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
 “Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian suatu sholat yaitu witir, maka laksanakanlah sholat itu antara sholat ‘Isya sampai Subuh.”

Dan dalam hadits Kharijah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menganugerahi kalian suatu sholat yang lebih baik bagi kalian dari onta merah, yaitu sholat witir. (Allah) telah menjadikannya untuk kalian antara ‘Isya sampai terbitnya fajar”. 


Ada satu sisi pendapat lemah dikalangan pengikut madzhab Syafi’iyyah dan juga fatwa sebahagian dari orang-orang belakangan dari kalangan Hanbaliyah menyatakan bolehnya
melakukan witir sebelum pelaksanaan ‘Isya. Tentunya itu adalah pendapat yang sangat lemah, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Siapa yang melakukannya sebelum ‘Isya maka
ia telah menempuh jalan para pengikut bid’ah yang menyelisihi sunnah”.
Namun para ulama berselisih pendapat tentang orang yang sholat witir sebelum Isya dalam keadaan lupa atau ia menyangka telah melaksanakan sholat ‘Isya, apakah witirnya diulang
kembali atau tidak?.
 

Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini :
1. Pendapat pertama :Diulangi kembali. Ini adalah pendapat jumhur ulama seperti Al-Auza’iy, Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad dan lain-lainnya.
2. Pendapat kedua : Tidak diulangi. Ini pendapat Sufyan Ats-Tsaury dan Abu Hanifah.
Dan tidak diragukan lagi bahwa yang kuat adalah pendapat pertama berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan.
2. Akhir Waktu (Waktu Terakhir) Dari Sholat Lail (Tarawih)
Para ulama sepakat bahwa seluruh malam sampai terbitnya fajar adalah waktu pelaksanaan witir.
 

Namun ada perselisihan pada batasan akhir waktu witir, ada beberapa pendapat dikalangan para ulama :
Satu : Akhir waktunya sampai terbit fajar. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Makhul, ‘Atho`, An-Nakha’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah dan riwayat yang paling masyhur dari Asy-Syafi’iy dan Ahmad. Dan diriwayatkan pula dari ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Abu Musa dan Abu Darda` radhiyallahu anhum.
Dua : Akhir waktunya sepanjang belum sholat subuh. Ini adalah pendapat Al-Qosim bin Muhammad, Malik, Asy-Syafi’iy -dalam madzhabnya yang terdahulu- dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan juga merupakan pendapat Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur dan lain-lainnya. Dan diriwayatkan pula dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ubadah bin Shomit, Hudzaifah dan lain-lainnya.
 

Tarjih
Yang kuat adalah pendapat pertama, karena dua hadits yang telah berlalu penyebutannya di atas sangatlah tegas menunjukkan bahwa akhir waktunya adalah sampai terbitnya fajar subuh. Dan
juga dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ketika ditanya tentang kaifiyat sholat lail beliau bersabda :
“(Sholat malam) dua dua, apabila engkau khawatir (masuk) waktu subuh maka sholatlah satu raka’at dan jadikan akhir sholatmu witir”
Adapun untuk pendapat kedua, Ibnu Rajab menyebutkan beberapa dalil yang menjadi landasan mereka dan beliau terangkan kelemahannya, kemudian beliau menyatakan : “Berdasarkan
anggapan bahwa hadits-hadits ini shohih (seluruhnya) atau sebahagiannya, maka maknanya diarahkan kepada (bolehnya) meng-qhodo` witir setelah berlalu waktunya yaitu malam hari, bukan menunjukkan bahwa setelah fajar (subuh) masih waktunya.” Dan pada halaman sebelumnya, beliau juga menyebutkan dari Ibnu ‘Abdil Barr bahwa mungkin yang diinginkan oleh pendapat kedua tentang bolehnya witir setelah terbitnya fajar adalah bagi orang yang lupa melakukan witir atau kelupaan, bukan untuk orang yang sengaja mengakhirkannya sampai keluar waktunya.
Dalam masalah meng-qhodo` witir memang ada persilangan pendapat dikalangan para ulama, namun –secara umum- apa yang disimpulkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan Ibnu Rajab adalah tepat dan sejalan dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad, Abu Daud, At- Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang tidur dari witirnya atau melupakannya maka hendaknya ia sholat bila ia mengingatnya” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/168)
Adapun orang yang punya udzur sehingga belum melaksanakan witir sampai sholat subuh maka ia meng-qhodo` witirnya setelah matahari terbit dengan menggenapkan jumlah kebiasaan witirnya, bila kebisaannya witir 3 raka’at maka digenapkan 4 raka’at, jika kebiasaannya 5 raka’at maka digenapkan 6 raka’at dan seterusnya. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu‘anha riwayat Muslim, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Bila beliau dikuasai oleh tidurnya atau sakit dari (melakukan) Qiyam lail maka beliau sholat di waktu siang 12 raka’at”

Waktu Yang Afdhol (Paling Utama) Dalam Pelaksanaan Qiyam
Ibnu Rajab menyebutkan bahwa banyak dari shahabat melakukan witir di awal malam, di antara mereka adalah Abu Bakr, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘A`idz bin ‘Amr, Anas, Rafi’ bin Khajid, Abu Hurairah, Abu Dzar dan Abu Darda` radhiyallahu ‘anhum. Dan pendapat ini merupakan salah satu sisi pendapat di kalangan orang-orang Syafi’iyyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan diikuti oleh sebahagian orang Hanbaliyah. Alasan mereka untuk lebih berhati-hati.
Namun Jumhur Ulama menilai bahwa witir akhir malam lebih utama. Ini pendapat kebanyakan ulama Salaf seperti ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan selain mereka dari kalangan shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Bahkan Ibnu Sirin berkata : “Tidaklah mereka (yaitu Para Shohabat dan Tabi`in di zaman beliau,-pent.) berselisih bahwa witir di akhir malam itu Afdhol (lebih utama).”
Pendapat ini pula yang dipegang oleh An-Nakha’iy, Malik, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Ahmad - dalam riwayat yang paling masyhur darinya- dan Ishaq.
Tarjih Insya Allah yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan afdholnya pelaksanaan Qiyam di akhir malam. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, diantaranya adalah hadits
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang khawatir tidak akan Qiyam di akhir malam maka hendaknya ia witir di akhir malam dan siapa yang semangat untuk witir di akhirnya maka hendaknya ia witir di akhir malam karena sholat di akhir malam adalah disaksikan1”
 

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir (Dalam salah satu riwayat Muslim : “ketika telah berlalu sepertiga malam pertama”, dan riwayat beliau yang lainnya : “apabila telah berlalu seperdua malam atau dua pertiganya” ) kemudian berfirman : “Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku kabulkan untuknya, siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku berikan untuknya dan siapa yang memohon anpun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya”.


Wallahu a'lamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

..:: Perhatian !! terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa kalau mau copy/paste harap cantumkan sumbernya by http://www.koarhan.blogspot.com dan blog ini setiap minggunya akan di update, Attention! thank you for visiting, do not forget to come back again and if you copy / paste please indicate the source by http://www.koarhan.blogspot.com and this blog will be updated every week::..