Ketika Beramal Tanpa dengan Ilmu
Sebagai seorang muslim tentu setiap kali mendirikan shalat lima waktu,
atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan shirathul
mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama dilalui oleh orang-orang
yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang maghdhubi
`alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan orang-orang
dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok diatas
disebutkan , bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi,
sedangkan orang dhallin adalah Nashara.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan antara dua jalan -yaitu
agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan orang yang beriman
menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi kehilangan amal,
sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang Yahudi
memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan.
Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat
kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang
Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak
memperoleh jalannya, karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya.
Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”
Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak amal dan ibadah sudah mendapat
jaminan untuk hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan tanda
kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah sering kita dengar, dan itulah
fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita mencoba
untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini, maka semua
sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari
besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak
pepasiran di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu
yang beterbangan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].
Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai amalan yang diterima, bahkan
dialah penyebab masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka
pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api
yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].
Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,”
diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan
berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang
sangat panas . Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam
kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”
KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang
yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak. Allah Subhanahu wa Ta'ala
membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan
orang yang melihat dengan si buta.
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? [Ar Ra`ad:19].
Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli dan bisu .
Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al Araf:187].
وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al Maidah:103].
Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan lebih dungu daripada binatang:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah,
ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. [Al
Anfal: 22].
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa orang-orang bodoh lebih
buruk dari binatang dengan segala bentuk dan macamnya. Dimulai dari
keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari binatang-bintang
tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para rasul dari
mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.
Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan sesuatu yang pada asalnya
haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu. Yaitu
dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang diajarkan berburu,
berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ
مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ
وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu,"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah,"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap)
oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk
berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya." [Al
Maidah:4]
Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.
Setelah ini semua, ketika seorang muslim mengarahkan pandangannya kepada
jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam, maka didapatkan bahwa
dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak mempedulikan
ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan. Inilah yang
menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman Islam.
Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut Khawarij, sampai-sampai
Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan dengan
amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka, jika dibandingkan
shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli ibadah. Siang
harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya bagaikan
rahib ... Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah
mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan
saja ... Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari
buruannya; mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang
berhasil membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
berazam, jika Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka Beliau akan
memeranginya, sebagaimana diperanginya kaum `Ad ...
Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu jamaah. Yaitu jamaah yang
didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan
aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para pengikutnya dengan empat
tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan thariqat
Naqsyabandiyyah.
Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid. Mereka tidak lebih mengerti
tentang tauhid bila dibandingakan dengan orang-orang musyrik Arab pada
zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka hanya mengakui
tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid tersebut. Dan tidak
mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun
pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara aqidah
Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab
tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus
Sunnah wal Jamaah.
Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka mereka dibaiat dengan empat
thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang dipenuhi
bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus kali, dan
(Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering
dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw
kepada Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.
Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka, apa yang disebut dengan
Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab ini
nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah, melebihi membaca kitab
Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan
hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga dengan kitab
Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan khurafat
serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya ...
Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa mereka merupakan jama’ah
yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas kebodohan , dengan bukti hadist yang selalu mereka dendangkan yaitu, “sampaikan
dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih, akan tetapi
yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap hadits ini.
Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru dakwah
dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan
alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid
...dan mereka permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang
sedang tenggelam yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa
belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat
menyelamatkan yang mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya hendak
menolong karena tidak bisa berenang sama-sama tenggelam kedalam lautan
dosa dan kesalahan.
Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika
salah seorang sahabat terluka, kemudian junub ketika musim dingin, dan
dia bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Apakah ada rukhsah
untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat
tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya.
Semoga kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengapa
kalian tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu
ialah bertanya.”
Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini ialah, karena mereka
jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai
dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian yang
kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode
dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah
naungan kelompok mereka?
Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat pembaca, berbeda
dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat
mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena ajaran
tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa
memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera
bid`ah serta sebagai penyebarnya.
Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh suasana, karena permasalahan
tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda
akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas bukit. Bak sebuah
bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.
Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-pertemuan di masjid-masjid
dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -sekalipun
negeri tersebut adalah tempat sarang berhala terbanyak di dunia-, maka
penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka akan
terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal mereka.
Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah keberhasilan mereka
mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya
bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah
ini dalam berdakwah?!
Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al Jami rahimahullah,
ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah moderen yang mempunyai
persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:
... Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat diskotik
dan bioskop. Ini tidak ada yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia
mengeluarkan mereka dari tempat-tempat tersebut, apa yang dilakukannya?
Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah, dan dengan metode para
anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan mengumpulkannya,
sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam thariqat
tasawuf? Benar ... Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari
jahiliyah kepada jahiliyah. “
Dia tidak memindahkan mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam.
Buktinya, ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi. Adapun
orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat diskotik itu,
kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu mengambil
thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi
peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang secara jelas
nampak ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari
thawaf di sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan
Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan
hukum demokrasi kepada berhukum dengan hukum Allah? Inilah yang
seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya, tentu dakwah yang
dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi sebagaimana kata
syair:
إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ
Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan rebana
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka
Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah tentang Islam yang benar,
bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut dan
memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya
terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat tersebut?
Wallahu A'lamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar