Bagaimanakah marah yang terpuji ?
Dalam dunia ini, biasanya manusia mengalami ketidaksabaran dan
kemarahan. Terutama pada saat seseorang merasa ada gangguan yang
menimpanya. Atau ketika ingin membalas gangguan yang telah menimpanya.
Baik berkaitan dengan hati, badan, harta, kehormatan, atau lainnya.
Dan kemarahan itu sering menimbulkan perkara-perkara negatif, berupa perkataan maupun perbuatan yang haram.
Tetapi sesungguhnya tidaklah semua kemarahan itu tercela, bahkan ada yang terpuji.
MARAH YANG TERCELA
Seseorang yang marah karena perkara-perkara dunia, maka kemarahan seperti ini tercela.
Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا
تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa seorang laki-laki berkata
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Berilah wasiat kepadaku.”
Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi
perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau
marah.”
[HR Bukhari no. 6116]
Maka jika seseorang ditimpa kemarahan, jangan sampai kemarahan itu
menguasai dirinya. Karena jika telah dikuasai oleh kemarahan, maka
kemarahan itu bisa menjadi pengendali yang akan memerintah dan melarang
kepada dirinya!
Janganlah melampiaskan kemarahan. Karena kemarahan itu sering menyeret
kepada perkara yang haram. Seperti : mencaci, menghina, menuduh, berkata
keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul, menendang, membunuh,
dan perbuatan lainnya.
Tetapi hendaklah mengendalikan diri dan emosinya agar tidak melampiaskan
kemarahan, sehingga keburukan kemarahan itu akan hilang. Bahkan
kemarahan akan segera reda dan hilang. Seolah-olah tadi tidak marah.
Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan Rasul Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنفِقُونَ
فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ
عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.
[Ali Imran : 133-134]
Juga firmanNya,
فَمَآأُوتِيتُم مِّن شَىْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَاعِندَ
اللهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَآئِرَ اْلإِثْمِ
وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَاغَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup
di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi
orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka
bertawakkal dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma'af.
[Asy Syura : 36-37].
Demikian juga orang yang mampu mengendalikan emosinya itu dipuji oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dijanjikan dengan bidadari
surga.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … فَمَا تَعُدُّونَ الصُّرَعَةَ فِيكُمْ قَالَ
قُلْنَا الَّذِي لَا يَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ بِذَلِكَ
وَلَكِنَّهُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,“Siapakah yang kamu anggap sebagai shura’ah (orang
kuat, jago gulat, orang yang banyak membanting orang lain)?” Kami
menjawab,“Seseorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.” Beliau
bersabda,“Bukan itu, tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai
dirinya ketika marah.”
[HR Muslim no. 2608].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ
Barangsiapa menahan kemarahan, padahal mampu melampiaskannya, niscaya
pada hari kiamat Allah ‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan
seluruh makhluk, sehingga Allah memberinya hak memilih di antara
bidadari surga yang dia kehendaki.
Untuk mengatasi kemarahan yang menimpa seseorang, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah memberikan resep-resep pengendaliannya. Dapat
kami sebutkan secara ringkas.
Pertama : Mengucapkan ta’awudz (mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan).
Kedua : Diam, tidak berbicara.
Ketiga. : Jika dia berdiri, hendaklah duduk. Jika belum reda, hendaklah berbaring.
Syaikh Muhammad Nadhim Sulthan berkata, “Kemarahan tercela adalah
kemarahan pada selain al haq, tetapi mengikuti hawa nafsu, dan seorang
hamba yang melewati batas dengan perkataannya, dengan mencela, menuduh,
dan menyakiti saudara-saudaranya dengan kalimat-kalimat menyakitkan.
Sebagaimana dia melewati batas dalam kemarahannya dengan perbuatannya,
lalu memukul dan merusak harta-benda orang lain.”
Jika kita telah mengetahui hal ini, maka marilah menengok bersama
terhadap panutan dan tauladan kita, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki kesabaran
luar biasa yang layak untuk kita contoh. Perhatikanlah perkataan Anas
bin Malik di bawah ini.
عَنْ ثَابِتٍ يَقُولُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ
فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ وَلَا لِمَ صَنَعْتَ وَلَا أَلَّا صَنَعْتَ
Dari Tsabit, dia berkata, Anas Radhiyallahu 'anhu bercerita kepada kami,
dia berkata, “Aku menjadi pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata kepadaku,’huh’.
Juga tidak pernah mengatakan kepadaku (ketika aku melakukan
sesuatu),’Kenapa engkau melakukan?’ Dan tidak pernah mengatakan kepadaku
(ketika aku tidak melakukan sesuatu),’Tidakkah engkau melakukan?’.”
MARAH YANG TERPUJI
Marah yang terpuji adalah kemarahan karena Allah, karena al haq, dan
untuk membela agamaNya. Khususnya ketika perkara-perkara yang diharamkan
Allah dilanggar.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali t berkata, “Kewajiban atas seorang mukmin
(yaitu) agar syahwatnya (kesenangannya) terbatas untuk mencari apa yang
dibolehkan oleh Allah baginya. Hendaklah meraih syahwat yang dibolehkan
tersebut dengan niat yang baik, sehingga mendapatkan pahala. Dan
hendaknya kemarahan seorang mukmin itu untuk menolak gangguan dalam
agama yang menimpanya atau menimpa orang lain dan untuk menghukum
orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ
وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ وَيُذْهِبَ
غَيْظَ قُلُوبِهِمْ
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan
menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang
beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang mu'min.
[At Taubah :
14-15].”
Jika kita telah mengetahui hal di atas, maka hendaklah kita tahu bahwa
begitulah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu beliau
tidaklah membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya, tetapi beliau
membalas dengan hukuman jika perkara-perkara yang diharamkan Allah
dilanggar.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ
قَطُّ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ
إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا
أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ بِهَا لِلَّهِ
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata,“Tidaklah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam disuruh memilih di antara dua perkara sama
sekali, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya,
selama hal itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan dosa, maka
beliau adalah manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah beliau
membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya di dalam sesuatu sama
sekali. Kecuali jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar,
maka beliau akan membalas dengan hukuman terhadap perkara itu karena
Allah.”
Demikian juga beliau tidak pernah memukul pembantu atau seseorang, kecuali jika berjihad di jalan Allah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا
إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ
قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ
مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata,“Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan
tangannya, juga tidak pernah memukul wanita (istri), dan tidak pernah
memukul seorang pembantu. Beliau memukul jika berjihad di jalan Allah.
Dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu sama sekali, lalu beliau
membalas terhadap pelakunya. Kecuali jika ada sesuatu di antara
perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan
membalas dengan hukuman karena Allah ‘Azza Wa Jalla.”
‘Aisyah Radhiyallahu anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia menjawab, “Aklhak Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an”
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yaitu, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam beradab dengan adab-adab Al Qur’an dan berakhlak dengan
akhlak-akhlak Al Qur’an. Apa saja yang dipuji oleh Al Qur’an, maka
itulah yang beliau ridhai (sukai). Dan apa saja yang dicela oleh Al
Qur’an, maka itulah yang beliau murkai.”
Jika melihat atau mendengar apa yang dimurkai Allah, maka beliau n marah
karenanya, beliau berbicara tentangnya, beliau tidak diam!
Di antara sebagian sikap beliau tentang hal tersebut, ialah :
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata.
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ
وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِي عَلَى سَهْوَةٍ لِي فِيهَا تَمَاثِيلُ
فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
هَتَكَهُ وَقَالَ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ
يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ قَالَتْ فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ
وِسَادَتَيْنِ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari safar (bepergian),
sedangkan aku telah menutupkan sebuah tirai pada sebuah rak. Pada tirai
itu terdapat gambar-gambar. . Maka setelah beliau melihatnya, lalu
mencabut tirai tersebut dan bersabda,“Manusia yang paling keras siksanya
pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai (menandingi) ciptaan
Allah.” ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata,“Maka tirai itu kami
jadikan sebuah bantal atau dua bantal.”
Abu Mas’ud Al Anshari Radhiyallahu anhu berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ
مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ غَضِبَ فِي مَوْعِظَةٍ قَطُّ أَشَدَّ مِمَّا غَضِبَ يَوْمَئِذٍ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ
أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوجِزْ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيرَ
وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ
Seorang lelaki menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
berkata,“Sesungguhnya aku memperlambat shalat Shubuh disebabkan oleh Si
Fulan (imam shalat) yang memanjangkan shalat dengan kami.” Maka tidaklah
aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam marah dalam memberikan
nasihat sama sekali yang lebih hebat dari kemarahan beliau pada hari
itu. Lantas beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu
itu ada orang-orang yang membikin manusia lari (dari agama)! Siapa saja
di antara kamu yang mengimami orang banyak, maka hendaklah dia
meringkaskan. Karena sesungguhnya di belakangnya , ada orang
yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.”
Abdullah bin Umar berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى بُصَاقًا
فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ فَحَكَّهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقُ قِبَلَ وَجْهِهِ فَإِنَّ
اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ إِذَا صَلَّى
Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ludah pada
dinding kiblat (masjid), lalu beliau membuangnya, kemudian menghadap
kepada orang-orang dan bersabda,“Jika salah seorang di antara kamu
sedang shalat, maka janganlah meludah ke arah wajahnya, karena
sesungguhnya Alah di arah wajahnya jika dia sedang shalat.”
Demikianlah, bahwa marah merupakan tabi’at jiwa manusia. Sehingga
tidaklah tercela ataupun terpuji, kecuali dilihat dari sisi dampak dan
niatnya.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar